hariandetiknews.com – BOGOR – Aturan terkait seragam sekolah untuk siswa SD, SMP hingga SMA bisa dilihat pada Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 Pasal 12 ayat (1) Di dalam aturan ini sekolah tidak boleh memberikan beban pada orang tua atau wali siswa untuk membeli pakaian seragam sekolah baru pada setiap kenaikan kelas maupun saat penerimaan siswa baru.
Tapi faktanya pengakuan beberapa siswa siswi dan wali murid SMP Negeri 2 Parung sewaktu tim media konfirmasi mereka membeli seragam sekolah senilai Rp. 1.350.000.
“Iya pak beli, batik bajunya aja, olahraga, ama baju muslim”, tutur beberapa siswa siswi.
Ditempat berbeda ketua komite tidak mengetahui bahkan tidak ada komunikasi dari pihak kepala sekolah SMP Negeri 2 Parung.
“Tanyain aja langsung ke sana, ga usah ragu ragu, kan ga ada komunikasi sama saya, lain dengan kepsek yang dulu, ada komunikasi dengan saya, inimah boro boro”, ucap ketua komite.
Saat tim media hendak konfirmasi kepada Kepala Sekolah, Kepsek tidak mau bertemu.
Humas SMP Negeri 2 Parung menyampaikan perihal perlengkapan yang didapat siswa siswi ada beberapa item.
“Baju batik, baju muslim/Koko, seragam olahraga, tes diagnostik, foto ijazah, dan sampul raport kurang lebih itu”, ucap Humas.
Sedangkan larangan penjualan seragam sudah jelas diatur dalam Pasal 181 dan Pasal 198 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Pendidik dan tenaga kependidikan dilarang untuk menjual seragam ataupun bahan seragam, demikian juga dewan pendidikan dan komite sekolah.
Praktisi hukum, Fuji Handriana, S.H menyayangkan pihak sekolah masih membebankan kepala peserta didik perihal seragam yang jelas jelas Sudah ada aturan yang berlaku.
“Artinya pengadaan pakaian seragam bukan tanggung jawab sekolah,” ucap Fuji.
“Bahkan dalam Pasal 13 Permendikbud 50 Tahun 2022 menyebutkan, Dalam pengadaan pakaian seragam sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan atau memberikan pembebanan kepada orang tua atau wali peserta didik untuk membeli pakaian seragam sekolah baru pada setiap kenaikan kelas dan atau penerimaan peserta didik baru”, tegas Fuji Handriana yang berkantor hukum di Cibinong.
Apabila hal ini terbukti benar dilakukan oleh Pihak Sekolah yang sengaja melakukan hal tersebut maka diharapkan agar Nantinya Pihak Dinas Pendidikan beserta Instansi terkait dalam pendidikan dapat memberikan Pembinaan serta Sangsi Hukum yang tegas sesuai dengan aturan yang berlaku dan Ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 368 KUHP mengenai Praktik Pungutan Liar dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan.
Tetapi jika pelaku merupakan pegawai negeri sipil, akan dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun.
Namun, ada ketentuan pidana yang ancaman hukumannya lebih besar dari itu, yakni Pasal 12 e UU Tipikor yang mana disitu dituliskan bahwa “Pungli itu bisa kita katakan sebagai korupsi” Ada Pasal 12 e di sana dengan ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun tentunya apabila semua itu memang sudah terbukti dan Harus dilihat case by case, apakah memenuhi unsur itu (Pasal 12 e UU Tipikor).
Sehingga dengan ditegaskan Undang – undang tersebut dan dilakukan sangsi dan penegasan kepada pelaku Pungli agar Program Pendidikan wajib belajar 9 tahun dapat sukses tanpa ternodai dengan maraknya Pungli Di Dunia Pendidikan”, tutup Fuji.(Ade)